Spiritualitas
Katekis /Guru Agama Katolik (Daniel Boli Kotan)
20
Feb
Feb
1. Apa Makna
Spiritualitas?
Berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti semangat, spirit,
jiwa, atma, sukma, roh. Sedangkan kata spiritual berarti kejiwaan, rohani
batin, mental dan moral (KBBI). Spiritualitas
(spirituality) adalah praktik dan permenungan sistematis atas hidup kristiani
yang ditandai oleh doa. Di dalamnya pembimbing rohani dengan terang Roh Kudus
membantu untuk menjernihkan arah ke mana pribadi-pribadi atau komunitas
melangkah (bdk. 1 Tes 5:19-22; 1 Yoh 4:1). Aliran atau gaya
spiritualitas seringkali mengikuti karisma-karisma tarekat seperti Benediktin,
Karmelit, Dominikan, Fransiskan, Ignasian (Yesuit), Berthinian dan sebagainya.
Sebagai ilmu atau bidang studi, spiritualitas mencakup unsur-unsur teologis,
liturgis, Kitab Suci, sejarah, psikologis dan sosial (lihat O’Collins Gerald, SJ & Farrugia G Edward, SJ, Kamus
Teologi, Kanisius, 1996).
Spiritualitas dapat dirumuskan sebagai hidup berdasarkan Roh Kudus secara
metodis mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih atau sebagai usaha
mengintegrasikan segala segi kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar
bertumpu pada iman akan Yesus Kristus atau sebagai pengalaman iman Kristiani
dalam situasi kongkrit masing-masing orang. Spiritualitas atau kehidupan rohani
mencakup seluruh kehendak orang beriman dan tampak sebagai buah Roh Kudus
dalam doa, kegembiraan, pengorbanan dan pelayanan sesama manusia (lihat A. Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja Katolik di Indonesia, CLC, 1989).
Mengikuti Kristus adalah cita-cita dan praktik hidup yang ditemukan
dalam tradisi kristiani yang paling tua (bdk. 1 Tes 1:6). Dalam surat-surat
Rasul Paulus, mengikuti Kristus juga dikaitkan dengan mengikuti rasul sendiri
(bdk. 1 Kor 4:16; 11:1; 2 Tes 3:7). Bagi St. Paulus mengikuti Kristus berarti
pembebasan dari dosa dan penyangkalan diri yang membuat orang beriman hidup
sesuai dengan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus (bdk. Rm 6:1-11),
berarti juga kesediaan untuk dibentuk oleh Roh Kudus (bdk. Rm 8:4, 11)
dan memberikan pelayanan kasih kepada orang lain (bdk.1 Kor 13; Gal 5:13).
Injil-injil secara khusus berbicara tentang mengikuti Yesus secara pribadi
sebagai kesediaan untuk melayani sesama yang membutuhkan (bdk.Luk 10: 29- 37))
dan mengikuti Anak Manusia melalui kesengsaraan menuju kemuliaan (bdk.Mrk
8:31-38).
2. Berpedoman pada
Spiritualitas Yesus Kristus
Yesus Kristus, Tuhan dan Guru telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Gembala
yang baik (bdk. Yoh 10:11-14), bukan hanya bagi orang Israel, melainkan
juga bagi segenap umat manusia (bdk.Yoh 10:6). Sebagai Guru, Ia berkeliling ke
semua kota dan desa dan mengajar dalam rumah-rumah ibadah seraya memberitakan
Injil, Kabar Gembira tentang Kerajaan Allah (bdk. Mat 9:35). Sebagai Gembala
yang baik, Ia mengenal domba-domba-Nya dan memanggil mereka masing-masing
dengan namanya (bdk. Yoh 10:3). Ia menuntun mereka ke padang rumput yang hijau
dan sumber-sumber air yang tenang (bdk. Mzm 22-23). Ia menyediakan
perjamuan bagi mereka dan memberi santapan dengan hidup-Nya sendiri supaya
mereka memiliki hidup, bahkan hidup yang berkelimpahan (bdk. Yoh 10;10)
.
Yesus minta para murid-Nya memberi makan banyak
orang: Tanda solidaritas sosial.
Tugas mengajar dan
menggembalakan ini selanjutnya dipercayakan Yesus kepada para murid-Nya. Ia
bersabda kepada mereka: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapak, Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 18:19). Dan
kepada mereka Ia berpesan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-19).
Tugas perutusan yang sama dipercayakan Yesus Kristus kepada semua umat
beriman yang telah menjadi murid-murid-Nya berkat Permandian dan Penguatan.
Oleh karena itu, semua umat beriman dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam
tugas mengajar, menggembalakan, dan menguduskan.
Oleh sebab
itu, bersama seluruh umat Allah sedunia, para katekis secara khusus
menerima kehidupan dan inspirasi dari pribadi Yesus Kristus Sang Guru dan
Gembala yang baik dan terpanggil untuk membawa kepenuhan hidup dan pembebasan
kepada mereka yang diserahkan di bawah bimbingannya, agar terwujud kehidupan
beriman yang dewasa dan terlibat dalam membangun Gereja serta masyarakat
(lihat Spiritualitas dan Tugas Para
Pewarta dalam buku “ Menggalakan Karya Katekese di Indonesia”, Kanisius, 1997)
3. Kehidupan Beriman
Seorang Guru Agama/ Katekis
Selama kita berkembang secara rohani, kita sadar bahwa kehidupan kita
merupakan medan perang antara kekuatan-kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan
jahat sepanjang masa. Sering kita bertanya bagaimana kita dapat
membedakan dan memilih jalan-jalan yang mengikuti kekuasaan baik melawan yang
jahat? Bagaimana melangsungkan kehidupan kita sesuai rencana Allah?
Sebagai seorang katekis yang hidup dalam masyarakat, kita mempunyai tugas
mewartakan rencana penyelamatan Tuhan. Kita harus mampu membedakan
kekuatan-kekuatan baik dengan kekuatan-kekuatan jahat. Supaya dapat membedakan
roh-roh baik dan roh-roh jahat, kita harus: mendalami, mengembangkan terus
menerus kehidupan rohani melalui latihan-latihan rohani dan emosional
kita dan tidak kunjung berhenti didukung dan dikembangkan oleh komunitas institusional yang paling dasar. Untuk itu perlu
kita perhatikan hal-hal berikut ini:
a. Pengembangan Hidup Rohani
Dalam diri kita selalu ada dorongan ke arah yang baik dan yang jahat. Di
satu pihak terdapat kekuatan-kekuatan bawaan yang mendorong kita menuju kepuasan
diri dan akhirnya sampai ke egoisme, di pihak lain, kekuatan-kekuatan baik
menarik kita ke sikap pengabdian demi orang lain, keakraban, kebenaran, dan
kesatuan. Apakah ada jaminan bahwa orang mau mengikuti yang baik? Bagi
orang Kristen, rahmat memungkinkan gerak menuju sikap demi orang lain, gerak
yang disebut pengembaraan rahmat, yang hasilnya adalah harapan dan cinta.
Leonardo Boff menulis, “rahmat merujuk kepada pengalaman Kristiani
yang paling mendasar dan paling asli. Rahmat adalah pengalaman akan Allah yang
begitu mencintai manusia hingga memberikan diri-Nya. Rahmat, pengalaman insan
pula, yang sanggup dicintai Allah dengan menyingkapkan diri kepada kasih dan
hubungan sebagai putra”. (Brian P. Hall, Hall P. Brian, Panggilan Akan Pelayanan; Citra Pemimpin Jemaat, Kanisius, 1996).
Jadi, rahmat merupakan pengalaman
manusia akan Allah yang paling mendasar. Ini berarti kita percaya akan Tuhan
yang sungguh-sungguh pribadi. Allah yang menciptakan alam semesta; matahari,
bulan, bintang-bintang, galaksi-galaksi, planet bumi ini, yang men-ciptakan
seluruh kehidupan biologis, telah menjalin hubungan langsung dengan nenek
moyang kita. Ia menciptakan sejarah bagi kita lewat Abraham, Musa, Daud, dan
para nabi. Dengan mereka dimulailah hubungan perjanjian. Jawaban terhadap
pengalaman akan Allah ini disebut Iman.
Pengalaman akan Allah yang paling pribadi bagi seorang Kristen terjadi
dalam pribadi Yesus dari Nasaret. Yesuslah pengalaman rahmat, anugerah yang
paling agung, dan penjelmaan segala nilai serta prioritas yang menurut kehendak
Tuhan kita hidupkan dalam perjanjian dengan-Nya.
Hubungan kita dengan Kristus telah memberikan kepada kita kepastian
diselamatkan. Seperti Yesus mengindahkan yang miskin dan yang dibuang,
menyembuhkan yang sakit dan membantu yang tertindas oleh ketidakadilan
dipermukaan bumi ini, demikian pula kita dipanggil dan disemangati oleh
nilai-nilai yang sama. Bila kita menerima semua ini, kepada kita dijanjikan
dukungan pengampunan bila kita tersesat dan hidup baru tidak hanya bagi kita
sendiri, tetapi juga bagi mereka yang dekat dengan kita. Hidup baru ini adalah
pengalaman kebangkitan sesudah meninggal, memberikan makna kepada kehidupan
kita, kreativitas, dan cinta kasih setiap kali kita berkorban demi orang lain.
Iman yang benar merupakan syarat mendasar demi pertumbuhan rohani. Inilah jawaban pribadi terhadap pengalaman
kita akan Allah.
b. Membaca Kitab Suci; Berdialog dengan Tuhan
Nilai-nilai dan prioritas hidup kita adalah nilai-nilai yang menyemangati
hidup kita. Mulailah menjalin hubungan dengan nilai-nilai itu dengan doa harian
dan perenungan dengan membaca Kitab Suci dan juga membaca riwayat
hidup orang-orang kudus yang hidupnya
menghayati nilai-nilai injili berkat hubungan mereka dengan Tuhan, seperti
Ibu Teresa, dan orang-orang suci lainnya.
Bila kita mendalami Kitab Suci dan memperhatikan cara-cara umat zaman
dahulu mengalami Allah, kita sadar akan adanya sikap iman, suatu teologi
mengenai apa artinya iman kita. Perjalanan rohani kita sangat ditentukan
oleh bagaimana kita mendalami dan mencerna Kitab Suci. Mustahil kita
disemangati oleh nilai-nilai injili jikalau kita tidak mendalami Injil.
c.Meditasi
Meditasi (meditare – Lat. = merenung) adalah doa batin dengan merenungkan
Kitab Suci atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan merenungkan Kitab Suci
atau tema-tema rohani yang lain, untuk mencapai kesatuan dengan Allah dan
memperoleh pemahaman atas kehendak ilahi. Meditasi biasa dilakukan sesudah
pembacaan kitab suci, situasi santai dan lepas bebas, hening dan diam, menunggu
sampai Allah berbicara. Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula, latihan meditasi
langkah demi langkah akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi yang lebih
tinggi.
Kontemplasi adalah salah satu bentuk doa hening. Dalam doa ini akal budi
dan imajinasi kurang aktif. Orang yang berdoa memandang Allah dan
rahasia-rahasia ilahi dalam kasih. Kalau kontemplasi dialami lewat
latihan-latihan yang tekun, disebut kontemplasi “yang diperoleh”. Kalau
kontemplasi ini dialami sebagai pemberian khusus dari Allah, di sebut “yang
dianugerahkan”.
d. Mengenal Diri Sendiri
Ada seruan, “Kenalilah Dirimu Sendiri”.
Brian P. Haal dalam buku, “Leadership Through Values” menyebutnya sebagai
Integrasi Pengetahuan. Seorang Katekis/Rasul Awam/Guru Agama harus memiliki
pengetahuan dasar agama (kitab suci, teologi, liturgi, pastoral, moral) yang
terus menerus dikembangkan sebagai konsekwensi dari profesinya.
Kita harus memahami secara mendalam sumber-sumber iman Kristen Katolik.
Kita harus menjadi seorang pendidik iman yang cakap dan beriman. Kita harus
bekerja/berusaha keras mengembangkan bakat-bakat kita. Selain cakap dalam
profesi dan beriman, kita juga harus mengembangkan keterampilan lain sebagai
pelengkap agar tidak tertinggal dalam perkembangan. Sebagai seorang Katekis
kita sebaiknya memiliki
1) Daya tahan terhadap penderitaan
Katekis yang cakap dan beriman tidak akan mengeluh walaupun penderitaan
datang bertubi-tubi. Anggaplah bahwa penderitaan merupakan pengalaman iman yang
harus kita dalami dan hayati dan belajar dari pengalaman itu agar menjadi
semakin dewasa. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau menderita. Namun,
kalaupun penderitaan itu datang juga kepada kita, kita harus menyambutnya
sebagai pengambilan bagian dalam penderitaan Yesus Kristus Sang Guru, Katekis
Agung kita.
Yesus sudah mengatakan bahwa siapa yang mau menjadi pengikut-Nya, harus
bisa memikul salib dan mengikuti Dia. Orang yang dipanggil untuk mengikuti Dia
sudah harus tahu resiko itu. Orang yang terpanggil tidak boleh bermental
“krupuk”. Salib, korban, dan penderitaan, sudah menjadi bahagian hidupnya,
jalan salib Yesus akan menjadi salibnya.
Pada saat-saat menjelang kematiannya, Yesus mengucapkan suatu kalimat yang
sangat bermakna dalam hubungan dengan penderitaan dan kematian-Nya. Kalimat itu
ialah: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati,
ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati ia akan menghasilkan banyak buah.
Sebagai pengikut Kristus, apalagi sebagai katekis, kita juga dipanggil
untuk menjadi biji gandum itu. Kita hendaknya menghayati misteri biji gandum
itu. Kita tidak perlu mencari penderitaan dan korban. Tetapi kalau kita
dipanggil untuk menderita dan korban demi kebahagiaan dan keselamatan sesama
kita, kita hendaknya bisa menghadapi dengan tulus dan kepala tegak. Yesus telah
menyong-song penderitaan-Nya dengan tulus dan kepala tegak, sebab Ia yakin
pengorbanan-Nya tidak sia-sia. Ia adalah biji gandum yang harus jatuh untuk
menghasilkan banyak buah.
Seorang katekis harus berani menghadapi penderitaan bagaimanapun beratnya,
karena penderitaan merupakan bagian hidup katekis seperti Yesus Sang Guru
mengalami-Nya sepanjang hidup-Nya, bahkan sampai wafat di kayu salib. Kita pun
harus berani menghadapi penderitaan dengan jiwa besar. Penderitaan-pende-ritaan
yang biasanya dialami seorang katekis antara lain: Penderitaan secara ekonomis. Hidup kita mungkin serba
kekurangan. Penderitaan secara politis. Sebagai bawahan
mungkin kita sering diperlakukan secara tidak adil, sewenang-wenang dan
sebagainya. Penderitaan secara sosial. Status kita sering
tak dianggap, tidak diperhitungkan.
Apakah artinya seorang Guru Agama di zaman sekarang ini? Belum lagi seribu
macam tantangan dalam melaksanakan tugas kita sebagai katekis.
Penderitaan-penderitaan itu diterima penuh penghayatan dan dipahami secara
mendalam sebagai rahmat (pengalaman Ayub). Menderita tanpa memahami arti
penderitaan itu dapat menghancurkan semangat hidup kita.
2) Nilai usaha belajar
Katekis yang baik menghargai usaha belajar dan sadar bahwa pengetahuan kita
masih ada kekurangan. Pengetahuan dimaksud bukan hanya kemampuan belajar dari
pengalaman, tetapi juga keingintahuan alami akan pengetahuan dan pemahaman
baru. Misalnya, sese-orang yang baru dipromosikan menjabat suatu posisi baru
dalam sebuah komunitas institusional atau lingkup kebudayaan itu akan selalu
mendukung orang-orang lingkup kebudayaan itu dengan menelaah secara meluas
sejarah kebutuhan dari kebudayaan dan orang-orangnya.
Demikian juga seorang katekis yang mendapat tugas pastoral di suatu daerah
tertentu, ia harus mempelajari dan memahami adat dan budaya daerah tersebut,
mengintegrasikan dirinya dalam sistem budaya tersebut. Kita bisa belajar dari
pengalaman para misionaris zaman dulu yang masuk ke daerah-daerah terpencil.
Mereka tekun mempelajari bahasa dan budaya lainnya sehingga dalam
menjalankan tugas pewartaan, pesan-pesan pewartaan itu sampai kepada umatnya.
Hal ini perlu kita perhatikan karena setiap kebudayaan memiliki nilai
tersendiri, dan perlu dihargai.
Menurut Fowler, “setiap insan, seorang atheis pun mempunyai pendirian
iman”. Fowler memperlihatkan bahwa apabila kita berbicara dengan orang lain,
kita menerawangi tabir iman kita maupun pendirian kita mengenai nilai. Kita
tidak boleh meremehkan orang lain yang juga memiliki kekuatan
nilai. Janganlah kita bersikap seperti seorang pedagang yang berkata
bahwa “jangan percaya sama pesaing bahkan pembeli”.
Kecurigaan dan sikap meremehkan pesaing-pesaing akan menghalangi kita
belajar dari mereka. Akan tetapi jika pendirian iman Kristiani dan kita
percaya bahwa semua orang anak Allah, sikap kita akan amat berlainan dan kita
akan mendengar orang lain tidak peduli siapa mereka.
3) Mengenal Orang Lain
Sebagaimana Kristus, demikianlah seorang katekis, ia harus mengenal orang
lain, mengakui bahwa nilai orang lain merupakan sumber yang sangat penting.
Sikap Kristiani yang paling mendasar ialah cinta kasih, rasa hormat tak
terhingga kepada nilai orang lain. Inilah rahmat yang aktif karena kita hanya
dapat mengasihi orang lain sejauh kita mengakui nilai tak terhingga dari diri
sendiri. Yesus bersabda “ kasihilah sesamu
manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Inilah kebenaran sejati
karena Allah yang pertama-tama mencintai kita tanpa batas.
Kasih terhadap orang lain merupakan nilai hidup universal dalam membangun
persaudara-an sejati. Sang Budha Gautama misalnya menasihati para pengikutnya
demikian: Jalan terbaik untuk membalas kejahatan ialah memberikan kasih dan
yang baik kepadanya. Sebab Anda harus menanggung konsekuen-si tindakan
Anda sendiri. Aroma kebaikan akan datang kepadaku, sedang angin jahat
akan bertiup kepadanya. Anda adalah hasil perbuatan Anda sendiri. Akan menjadi
apa Anda, itu tergantung pada apa yang Anda pikirkan dan Anda
lakukan.
Orang lain yang bernilai bagi kita adalah sahabat, kekasih, anggota
keluarga, rekanan kerja/seprofesi atau siapa saja yang mau memahami dan
menerima kita apa adanya, sekarang dan esok. Kita berbagi rasa dan pikiran yang
terdalam dengan mereka; mereka memberi semangat dan dorongan kepada kita
melalui kontak lahir batin dan melalui kepercayaan bahwa kita orang yang
berharga. Hanya melalui hubungan timbalbalik, seperti bermain bersama, bekerja
sama, berbagi rasa, bersentuhan dan bercakap-cakap, kita dapat belajar
membuahkan yang terbaik dari apa saja yang masih tersimpan dalam diri kita.
Dengan cara demikian, kita juga membantu diri kita sendiri untuk mengatasi rasa
terasing, kesepian dan keputusasaan yang sewaktu-waktu merasuki hidup kita.
Ketika kita menjadi orang yang berarti atau bernilai bagi orang lain,
kita membantu mereka pula untuk dapat lebih mencintai dan sekaligus kita
membantu diri sendiri menjadi lebih manusiawi. Untuk itu diperlukan kesadaran,
keterbukaan dan kepekaan. Itu berarti kita berbagi: memberi dan menerima, dan
kadang-kadang juga mengorbankan kepentingan diri. Memulai dan melangsungkan
hubungan seperti itu tidaklah mudah. Saling percaya, itulah prasyarat
untuk bisa berbagi sedalam-dalamnya.
Pengakuan akan nilai orang lain itu selalu dimulai dalam keluarga
kerena keluarga merupakan sentral nilai. Peran orangtua sebagai pendidik
pertama dan utama hendaknya menaburkan nilai-nilai iman dan moral bagi
anak dan anggota keluarga yang lain sehingga mereka dapat menjadi orang
yang mampu mengembangkan nilai-nilai persudaraan sejati di luar rumah dan
menjadi sahabat bagi banyak orang sebagaimana dikatakan oleh Homer, seorang
psikolog: Ia hidup dalam sebuah rumah di
tepi jalan; ia teman banyak orang.
Seluruh lingkup perhatian hubungan antar-insan manusiawi ini meliputi empat
proses yaitu:
·
Kontemplasi, perhatian penuh dan
menyeluruh. Yang dituntut di sini adalah sikap mendengarkan secara aktif tanpa
menilai. Dengan demikian orang dimungkinkan melihat keindahan dan kehebatan
orang lain lepas dari sifat-sifatnya yang negatif.
·
Pembangkitan, adalah hasil
kontemplasi. Kalau kita melihat nilai, bakat, dan pilihan kreatif orang lain,
cakrawala kita diperluas dan pilihan-pilihan kita diperbanyak.
·
Refleksi, adalah saat
tenang untuk melihat kembali ke belakang, mendengarkan orang lain, membantu
yang lain, melihat kembali nilai-nilai, bakat, dan pilihannya.
·
Aksi dan rekayasa, merupakan hasil akhir
proses setelah memperhatikan dan mencintai orang lain, diharapkan bahwa dia
tergerak mencintai secara bertanggung jawab di dalam masyarakat
4) Membina Suara Hati
Dalam Gaudium et Spes, art. 16 dikatakan bahwa “dalam lubuk hati
nuraninya manusia menemukan hukum yang tidak diberikannya kepada dirinya
sendiri, melainkan yang harus ditaatinya, dan suaranya senantiasa mengajaknya untuk
mencintai dan melakukan apa yang baik dan menghindari apa yang buruk dan bila
perlu dikumandangkan dalam telinga hatinya: Lakukan ini, hindarilah itu. Karena
manusia mempunyai hukum yang ditulis oleh Allah dalam hatinya, adalah
martabatnya untuk mematuhinya dan menurutinya, ia akan diadili (bdk. Rom
2:14-16)”.
Menurut John A. Hardon, SJ (Pocket catholic
Catechism, Bantam Doubleday Dell Publishing
Group Inc, New York, 1998), suara hati didefinisikan sebagai suatu
pertimbangan praktis dari seseorang untuk menilai suatu tindakan, apakah
tindakan itu baik atau buruk menurut ukuran moral. Suara hati merupakan
suatu keputusan pikiran atas moralitas dari suatu tindakan. Dasar dari
keputusan tersebut bersifat manusiawi diterangi oleh iman atas kebenaran wahyu
Allah.
Untuk memiliki suara hati yang jernih, tajam, kita perlu membinanya
dari waktu ke waktu sehingga dapat menguatkan, meneguhkan iman dan
kepribadian kita yang semakin otonom. Suarahati dibina agar kita dapat
mengembangkan kemampuan untuk menilai situasi, mampu membedakan apa yang baik
dan apa yang buruk.
Ada beberapa cara untuk membina suara hati dalam rangka pembinaan iman
kita:
·
Suara hati berkembang bila kita sanggup mengakui dan membiarkan diri
dibimbing oleh suara hati kita. Kita dituntut untuk setia mengikuti petunjuk
suara hati. Dengan kesetiaan itu kita dihadapkan pada Allah, dan menyerahkan
diri kepada-Nya.
·
Suara hati dapat berkembang jika ketergantungannya diakui dan diolah. Maka
superego kita ditinggalkan dan beralih pada kepentingan bersama.
·
Perlu adanya kemahiran untuk menangkap nilai-nilai dan membiarkan dunia
berbicara kepada kita.
·
Perlu adanya kesadaran norma. Maka suara hati membutuhkan banyak informasi
tentang masalah hidup aktual dan pendapat-pendapat moral bersangkutan.
·
Berlatih untuk mempertimbangkan kasus-kasus kompleks. Untuk itu kepentingan
pribadi hendaknya disingkirkan.
·
Berdoalah secara baik, karena dalam doa kita berkomunikasi dengan Tuhan.
Bila kita berdoa dengan baik maka kesadaran kita akan kehadiran Allah yang
menyelamatkan semakin bergema dalam hati kita.
5) Roh Kudus dan Kehidupan Communio
Setiap orang perlu memiliki arah iman yang tepat, demikian juga seorang
katekis harus memiliki iman institusional yang tepat. Pemahaman akan tubuh
Kristus seperti dikatakan Santo Paulus (Rom 12:4-8), Roh Kristus dalam setiap
orang membentuk jaringan sistem yang menyatukan ke dalam sebuah organisasi yang
menyatu. Organisasi itu disebut Paulus, TUHAN. Setiap orang membentuk kesatuan
yang saling membutuhkan dengan orang lain. Tiada pemimpin kalau tiada pengikut,
kedua-duanya saling membutuhkan. Bakat dan tugas pelayanan setiap orang mutlak
perlu bagi semua. Paulus melihat setiap orang sebagai bagian sistem, walaupun
perkembangan rohani individual penting.
Dalam kehidupan ini kita didorong untuk berbuat baik. Kemajuan yang
diakibatkan oleh dorongan berbuat baik yang disebut rahmat, merupakan
pengalaman kehidupan yang paling menentukan. Dalam kehidupan doa dilambangkan
oleh doa komunitas dan pemecahan roti bersama dalam Ekaristi. Kristus bersabda,
“Dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di
tengan-tengah mereka” (Mat 8:20).
Sebagai anggota-anggota dari satu Tubuh Kristus, kita membutuhkan kebersamaan yang mendukung tugas keseharian atau kepemimpinan kita dalam tugas perutusan.
Guna mempertahankan mutu kepemimpinan dan kejujuran rohani yang tinggi , kita
membutuhkan tiga sumber dukungan tambahan, yaitu 1) sistem keakraban, 2) sistem
pelimpahan pekerjaan, dan 3) sistem dukungan dari rekan-rekan.
6) Sistem Keakraban
Setiap orang yang berkeinginan bertumbuh secara rohani harus berbagi secara
akrab dan teratur minimal dengan orang lain. Hubungan akrab itu melalui berbagi
pengalaman yang mendalam. Keakraban berarti berbagi secara teratur segala
ketakutan dan harapan secara terbuka dengan orang lain. Mengapa hubungan
semacam itu perlu? Kalau kita masing-masing makin matang secara rohani
dan makin terbuka dalam pelayanan kepada orang lain, maka kita dapat melihat
diri kita sebagaimana kita dilihat orang lain. Inilah langkah penting menuju
kematangan.
Perkembangan rohani adalah kemampuan menyaturagakan perjalanan batin diri
serta kesan-kesan orang lain tentang diri kita. Hanya dengan berbagi secara
mendalam dan jujur memungkinkan orang lain melihat diri kita apa adanya. Cara berbagi
ini tidak mungkin tanpa kesatuan. Contoh keadaan paling alami dalam berbagi;
saling memberi dan menerima adalah hubungan pernikahan. Namun, hal ini bukanlah
jaminan untuk suatu keakraban. Keakraban antara dua orang perlu dipelihara dan
dikembangkan sepanjang waktu. Keakraban menumbuhkan sikap makin
percaya-mempercayai serta memegang teguh kesetiaan dan kerahasiaan.
Keakraban adalah anugerah bagi siapa pun juga lepas dari panggilannya.
Akhirnya keakraban tidak akan terjadi kalau ruang lingkup hidup kita atau
komunitas tidak mendukung dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang
bernilai. Jadi, keakraban harus didukung oleh relasi sosial kita yang terbuka
dan sehat.
7) Pelimpahan Pekerjaan dan Dukungan
Hal ini meliputi pengembangan komunitas pendukung dengan rekan -rekan
sekerja. Ada dua syarat untuk komunitas semacam ini; a) Apa saja yang dapat
kita laksanakan, dapat dilimpahkan kalau perlu selama kurun waktu yang
terbatas. b)Tim termasuk kita sebagai anggota, saling mendukung satu sama lain.
Syarat pertama merujuk pada kenyataan bahwa komunitas beragam itu
mustahil tanpa dukungan orang lain. Melimpahkan segala yang kita
laksanakan, mengandaikan bahwa rekan sekerja sama terampil dan sama besar
kekuasaan. Bagi seseorang mungkin sulit, tetapi bagi sebuah tim tidak.
Syarat kedua menyatakan keharusan akan adanya komunitas pendukung yang
terdiri atas rekan-rekan kerja guna menciptakan suasana bekerja yang
optimal. Rekan sebaya adalah mereka yang dipilih karena pada bidang tertentu
lebih terampil dan lebih cakap daripada kita. Kepada merekalah kita melimpahkan
wewenang kita. Pelimpahan ini menumbuhkan sebuah sikap terbuka dan dewasa demi
tercapainya hasil yang optimal. Kita berani melimpahkan kekuasaan bukan karena
terpaksa melainkan demi wawasan yang lebih luhur. Hal ini dapat terjadi kalau
antara kita ada hubungan yang harmonis dan tidak mengutamakan
kepentingan-kepentingan pribadi.
Kepemimpinan kolegial mutlak perlu untuk menghindari kemacetan dalam
pertumbuhan individual maupun institusional. Hal ini memerlukan perjuangan
terus-menerus melawan sikap yang ngotot dan takut kehilangan kekuasaan, demi
menciptakan tenaga baru (SDM) yang dibutuhkan.
Kita harus berani memeriksa keterbatasan pribadi, dan berani mengeritik
suatu ketidak-adilan dalam suatu isnstitusi. Pelimpahan kerja harus
direncanakan biasanya lebih efektif dan terarah kerana sudah ditentukan
kriteria untuk kepemimpinan yang lebih baik di dalam sebuah sistem dan
mendorong sebagai kekuatan positif demi pertumbuhan spiritual.
8) Sistem Dukungan Rekan
Maksud dari Sistem Dukungan Rekan adalah kelompok yang profesionalismenya
setara dengan kita, namun bukan bagian dari sistem kita. Kita bertemu mereka
secara teratur guna berbagi ide-ide dan mendapat umpan balik. Kelompok-kelompok
ini sudah lazim bertemu pada temu ilmiah, seminar dan pertemuan tahunan. Yang
terlibat bukan teman karib dan bukan teman sekerja, tetapi orang lain yang bagi
kita merupakan sumber umpan balik yang bijak mengenai pekerjaan tanpa kita
merasa terancam. Konsultasi rekan atau dukungan rekan ini adalah salah satu
bentuk bimbingan rohani. Dahulu pembimbing rohani berperan otoriter. Kini
pembimbing rohani adalah rekan yang mendukung spiritualitas sesamanya (lihat
Brian P. Hall, Panggilan, Panggilan Akan
Pelayanan; Citra Pemimpin Jemaat, Kanisius, 1996 ).
9) Memimpin Berarti Melayani
Kepemimpinan kita dalam tugas pastoral hendaknya berpedoman
pada kepemimpinan Yesus Kristus. Dia berfirman “Saya memberikan teladan kepadamu, supaya kamu pun berbuat seperti yang
telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:15). Seorang katekis, penggembala
hendaknya menjadi pemimpin yang tidak memaksakan keinginannya
kepada orang lain. Seorang katekis tidak boleh berusaha menguasai sesamanya.
Apabila seorang pemimpin selalu memakai orang lain untuk kepentingannya atau
untuk memenuhi kehendaknya, ia bukanlah mengikuti kepemimpinan Kristus, yaitu
melayani.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang melayani sebagaimana yang
dilakukan Yesus Kristus dalam hidup dan karya-Nya maka kita
perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
·
Terbuka kepada orang
lain, menerima mereka apa adanya dan tidak bersikap menghakim Seorang pemimpin, pengabdi hendaknya peka mendengar serta terbuka
untuk menanggapi segala macam orang. Ia memang mempunyai pedoman untuk
mengambil keputusan – keputusan, tetapi ia adalah tuan atas
keputusannya, dan tidak membiarkan keputusan memperbudak dirinya. Dia
memberikan tang-gapan yang jujur dan terang kepada orang-orang yang berhubungan
dengannya. Dia mempunyai nilai-nilai tertentu, namun dia tidak membebankannya
kepada orang-orang lain. Dia tidak mudah terancam oleh keadaan yang muncul,
yang tidak mudah ditanggapi serta yang tidak diketahuinya. Bahkan ia
tidak gampang mundur atau menarik diri dari kenyataan-kenyataan
hidup yang bertentangan di sekitarnya.
·
Bersikap bebas, luwes namun tegas sehingga ia tidak mudah digoncangkan oleh suatu situasi tertentu.
Seorang pemimpin, pengabdi yang melayani dapat menyesuaikan caranya
berkomunikasi sesuai dengan situasi. Ia terbuka pada dorongan Roh Kudus, yang
sering datang melalui orang lain.
·
Melihat orang-orang lain sebagai pribadi. Ia menolak memakai orang lain
sebagai alat walaupun untuk
maksud yang baik, sebab ia lebih memperhatikan orang dari pada tugas. Dia lebih peka
terhadap perasaan-perasaan dan hubungan dengan orang lain daripada menjalankan
tugas saja. Dia menemukan akal untuk menghargai perasaan-perasaan pribadi dan
sementara itu menyelesaikan tugasnya.
·
Selalu dengan penuh kesabaran berusaha menciptakan iklim yang baik untuk perubahan. Ia mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, mencoba jalan-jalan baru,
tahan akan kegagalan dan tidak menjadi lemah semangat karena jalan buntu yang
dihadapi. Mengakui bahwa perubahan memerlukan percobaan-percobaan, dia terbuka
untuk pembaruan. Dia bersedia membantu, menyokong dan menyemangati orang lain,
sementara mereka bekerja mengusahakan perubahan. Dia menolong untuk
mengembangkan saling mempercayai. Dia mengerti tugasnya untuk menyemangati
orang lain agar mereka terbuka pada perubahan.
·
Selalu mencari cara agar orang-orang terlibat dalam proses membuat dan mengambil keputusan,
sementara mereka mempersiapkan agar perubahan terjadi. Dia menyokong untuk
mempergunakan kemampuan-kemampuan pribadi dan pengungkapan diri orang-orang
lain. Dia memakai segala daya agar kemampuan orang lain dimunculkan serta
dikembangkan.
·
Mengakui bahwa perubahan harus diciptakan dari dalam, maka pengabdi bekerja untuk memungkinkan keterlibatan
mereka-mereka yang akan dipengaruhi oleh perubahan itu. Dia menerima segala
orang dan bekerja untuk tujuan bersama serta kebaikan bersama. Dia mengakui
bahwa perubahan akan lebih ternjamin kalau keputusan dicapai bersama.
·
Berkeyakinan bahwa perubahan berdaya guna mendidik, dia melayani sebagai seorang guru yang Perubahan menuntut bahwa kita
senantiasa meneliti kembali keterampilan, pengertian dan hubungan
antar-pribadi.
·
Menyadari bahwa orang yang berbeda, menanggapi pula secara berbeda dan
dengan jalan lain atas perubahan yang sedang terjadi. Dia berusaha untuk peka dan mengerti kelakuan orang
lain dan kelakuannya sendiri bila berhadapan dengan perubahan. Dia mencoba
mengerti ketergantungan, pelarian diri, sikap menentang, seperti dia mencoba
mengerti kerja sama dan persetujuan orang lain.
·
Mengakui adanya saling ketergantungan dengan
sesamanya, dan ketergantungannya kepada Tuhan. Dia mengetahui bahwa
kekuatan dan cinta Tuhan selalu siap sedia, rela menanggung risiko, mengetahui
bahwa dia memerlukan orang lain, berani membangun persaudaraan sekaligus dalam
perubahan yang mendadak.
Daftar Pustaka
·
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1990
·
Hall P. Brian, Panggilan Akan Pelayanan; Citra Pemimpin
Jemaat, Kanisius, Yogyakarta, 1996
·
Hardawiryana R, SJ, (Penterjemah) Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen KWI
& Obor, Jakarta, 1989
·
Hardon A. John, SJ, Pocket Catholic
Catechism, Bantam Doubleday Dell Publishing Group Inc, New York, 1988
·
Heuken, A, SJ, Ensiklopedi Gereja, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1991
·
Kieser Bernhard, SJ, Moral Dasar, Kaitan
Iman dan Perbuatan, Kanisius, Yogyakarta, 1987
·
Komisi Kateketik KWI, PKKI VII: Menggalakkan
Karya Katekese di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1997
·
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili
Vatikan II, Dokpen KWI, Obor, Jakarta, 1993
·
Lembaga Alkitab Indonesia (Penterjemah), Alkitab, LAI, Jakarta, 1993

Tidak ada komentar:
Posting Komentar